Bukan publisitas yang kami cari, tapi hanya berbagi hikmah yang kami kehendaki.
Bencana datang menghampiri. Tsunami di Mentawai, gunung meletus di sekitar merapi. Media dan semua orang yang terpengaruh media bilang, itu bencana. Bencana karena alam mengusik kita, umat manusia di kolong langit. Bencana karena tiap anak manusia sedang tidak bisa hidup di kediamannya masing-masing. Mereka meninggalkan aktivitas keseharian di kantor, sekolah, kampus, dan lain sebagainya. Kata mereka, itu bencana.
Anak-anak manusia di kolong langit sedang berada di pengungsian. Menanti redanya bencana dari alam yang maha dahsyat. Mereka meninggalkan rumah dan kegiatan sehari-hari, berubah menjadi penantian yang tak kunjung datang. Penantian akan berhentinya murka alam (atau ini kah murka Tuhan yang sesungguhnya?). Yang jelas alam tidak bersikap seperti papan elektronik lampu merah di perempatan jalan. Tidak seperti papan elektronik itu yang bersedia menyampaikan berapa lama lagi para pengendara harus menanti.
Anak-anak manusia di permukaan bumi, sedang menghadapi bencana yang sebenarnya, Bencana sejati yang datang bukan dari alam. Bukan pula karena kecerobohan manusia. Akan tetapi, apa yang mereka hadapi di pengungsian itulah bencana yang sebenarnya. Ketika anak-anak manusia tidak bisa merasakan ketenangan berbagi di tengah-tengah keramaian pengungsi. Ketika hati kecil anak-anak manusia benar-benar menjadi kerdil dan nestapa karena hilangnya kasih sayang dari sekitar yang juga mengalami nestapa. Dan para pahlawan datang, membantu para korban dengan hati yang besar karena kebijaksanaan. Seperti kebijaksanaan yang tersurat dalam kalimat mereka di awal tulisan ini.
sip2….artikele sip brow…thanks..
SukaSuka